Dalam berbisnis merupakan salah satu aspek yang harus mendapatkan perhatian yang serius dalam upaya mengelola suatu kegiatan bisnis. Menurut Ronald J Ebert dan Ricky M Griffin, etika bisnis adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan perilaku etika dari seorang manajer ataupun karyawan suatu organisasi.
Prinsip Etika Bisnis:
- Kejujuran (honesty), yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur, sungguh-sungguh, tidak curang atau mencurangi, dan tidak berbohong.
- Integritas (integrity), yaitu memegang prinsip, tulus hati, berani dan penuh pendirian / keyakinan, tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat dan saling percaya.
- Memelihara janji (promise keeping), yaitu selalu menaati janji, patut dipercaya, penuh komitmen, patuh, jangan menginterprestasikan persetujuan dalam bentuk teknikal atau legalistik dengan dalih ketidakrelaan.
- Kesetiaan (fidelity), yaitu hormat dan loyal kepada keluarga, teman, karyawan, dan negara;begitu juga dalam suatu konteks profesional yang bebas dan teliti.
- Kewajaran / keadilan (fairness), yaitu berlaku adil dan berbudi luhur, bersedia untuk mengakui kesalahan, dan perlihatkan komitmen keadilan.
- Suka membantu orang lain (caring for others), saling membantu, berbaik hati, kebersamaan, dan menghindari segala sesuatu yang membahayakan orang lain.
- Hormat kepada orang lain (respect for others), menghormati martabat manusia, menghormati kebebasan dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi semua orang, sopan santun, jangan saling merendahkan orang lain.
- Warga negara yang bertanggung jawab (responsibility citizenship), yaitu selalu menaati hukum / aturan, penuh kesadaran sosial, menghormati proses demokrasi dalam mengambil keputusan.
- Mengejar keunggulan (pursuit of excellence), yaitu mengejar keunggulan dalam segala hal, tekun, rajin penuh komitmen, engembangkan dan mempertahankan tingat kompetensi yang tinggi.
- Dapat dipertanggungjawabkan (accountability), yaitu memiliki tanggung jawab, menerima tanggung jawab atas keputusan dan konsekuensinya, dan selalu memberi contoh.
Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
- Level
satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak
dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan dapat menerapkan label-label
baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan. Pada
tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh
kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik
adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang
lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas. Pada
tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument
untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang
dipedulikan anak itu.
- Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang
tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap
kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi
dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.Tahap Tiga :
Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal. Pada tahap ini, melakukan apa
yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku yang baik
dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan. Benar
dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh
loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum
dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
- Level
tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada
tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara
adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan
nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian
prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional.
Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang
memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial. Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial. Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal. Tahap
akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral
yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan
seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap
prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai kriteria untuk
mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
1. Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
2. Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.
3. Standar moral harus lebih diutamakan dari pada nilai termasuk (khususnya) kepentingan diri.
4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
5. Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosakata tertentu.
Tanggung Jawab Moral
Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena
melakukan kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya
dan efek-efek merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja
dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
- Ketidaktahuan
- Ketidakmampuan
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas
kesalahan atau kerugian yang memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :
Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang
salah yang dia lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas
efek-efek kerugian yang disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu
dilakukan dengan bebas dan sadar.
Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan)
oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan
oleh :
- Ketidak pastian
- Kesulitan
Tanggung
Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Tanggung
Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering
bertindak berdasarkan perintah atasan mereka. Perusahaan biasanya memiliki
struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level yang lebih rendah. Jadi,
siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika seorang atasan
memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka ketahui salah? Hanya
atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan
jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru, karena
bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan
sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan
secara bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan
untuk mentaati atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk
mentaati perintah melakukan apapun yang tidak bermoral.
Contoh
Pelanggaran Etika Bisnis
a. Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
b. Pelanggaran
etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah
Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru
sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru.
Pungutan sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu
tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada
wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi.
c. Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada
seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan
mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu
mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia
diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan
kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola
sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit.
Sumber :
Hadi, Susetya, PERKEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB, kewirausahaan.
Lia Nur Islami
14611093
2sa04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar